Senin, 03 Oktober 2011

Ritual Adat “Ngundang Binieak”

Pelaksanaan turun tanam segera dilakukan oleh petani. Namun sebelum pelaksanaan turun tanam, agar hasil padi yang ditanam tidak dimakan hama dan penyakit, warga masyarakat sebelumnya melaksanakan ritual adat yang diberi nama “Ngundang Binieak atau mengundang bibit. Artinya, semua masyarakat saat akan memulai turun tanam serempak masyarakat mengumpulkan padi seadanya untuk dijadikan satu dan diberikan syarat agar padi yang akan di tanam tidak diserang hama penyakit. Lalu bagaimana acara ritual “Ngundang Binieak” itu?

============*********===========
Masyarakat di Kabupaten Lebong biasanya sebelum melaksanakan turun tanam serentak, mereka melakukan ritual adat yang diberi nama “Ngundang Binieak” atau ngundang bibit. “Ngundang Binieak” ini merupakan hari waktu pencanangan memulai untuk turun tanam dengan secepatnya. Paling lama sepuluh hari.
Bibit padi yang akan diberikan syarat tersebut merupakan hasil kumpulan warga yang berasal dari segala penjuru di Kabupaten Lebong. Padi tersebut dikumpulkan untuk kemudian dicampur dengan berbagai jenis tumbuhan lainnya. Dengan tujuan agar hasil padi yang mereka tanam dapat melimpah dan tidak diserang hama tikus ataupun lainnya. Setelah padi tersebut dikumpulkan dan usai di berikan syarat padi tersebut dikembalikan kepada warga. Namun anehnya pada saat padi tersebut dikembalikan justeru padi tersebut berlebih. Mungkin inilah yang dinamakan dengan rezeki. Bila panen tiba hasil padi yang mereka peroleh akan melimpah.
Pantauan RPP saat ritual adat tersebut, padi yang sudah dikumpulkan diampur dengan berbagai jenis tumbuhan diantaranya jeruk nipis satu buah, cekrau sebanyak 2 kilogram, kupei dua kilogram, daun linggo dua genggam, rebung bambu gading satu kilogram, buah pinang dua puluh buah. Kemudian gundur, upei, jerangau, stokot. Masing-masing satu buah. Berbagai jenis campuran tersebut dipotong lembut dan dijadikan satu (diaduk) dengan padi, kemudian padi ditutup dengan selembar kain putih. Sementara buah kelapa muda dan daun sedingin setawar dipisahkan dari padi.
Masing-masing jenis tumbuhan yang dicampurkan dengan padi tersebut, menurut pawang Ujang Sarifudin, memiliki arti tersendiri. Dikatakannya, cekrau dan kupei yang masing-masing dibutuhkan sebanyak dua kilogram mengandung makna agar padi yang ditanam cepat berkembang. Kemudian, daun linggo, rebung bambu gading, buah pinang, gundur memiliki arti bahwa saat padi ditanam tidak diserang hama seperti tikus, babi dan lain sebagainya serta terhindar dari penyakit yang menyebabkan padi tersebut layu atau bahkan mati. “Ritual semacam ini dilakukan setiap tahun turun temurun sejak dari nenek moyang kami dan itu harus dilakukan karena itu merupakan rangkaian yang harus kami lakukan sebelum turun tanam,” kata Ujang Syarifudin.
Pengamatan RPP, usai mencampurkan dan menyiapkan segala sesuatunya, maka ritual “Ngundang Binieak” pun dilakukan. Pada saat ritual dilaksanakan, sambil membakar kemenyan pawang membacakan mantra-mantra agar padi yang akan ditanam tumbuh dengan baik dan terhindar dari serangan dan hama yang biasa mengganggu padi. usai membacakan mantra-mantra  dan sedinginsetawar dimasukkan dalam buah kelapa muda untuk dicelupkan ke dalam air untuk kemudian dipercikkan pada padi yang sudah diberikan syarat tersebut.
Dalam mantranya, pawang sempat menangis dan mengeluarkan  air mata, sangat berharap sekali pada turun tanam kali ini padi petani tidak diserang hama tikus dan babi serta terhindar dari hama penyakit padi lainnya. Dengan demikian pertumbuhan padi akan cepat berkembang dan menghasilkan jumlah padi yang banyak. Artinya pada panen mendatang hasil padi mereka melimpah.
Usai membacakan mantra sekitar 15 menit ini, padi yang sudah diberikan syarat dan sudah dimantra tersebut diaduk kembali secara bergiliran. Kemudian dimasukkan dalam kantong plastik  masingt-masing sebanyak dua sendok.
Ujang Syarifudin yang merupakan mantan kades Dusun Muara Aman ini mengatakan, saat membacakan mantra-mantra, dirinya meminta izin kepada leluhur mereka untuk turun tanam dan meminta agar semua hama yang ada dikembalikan ke hutan. Leluhur yang dimaksud adalah raja-raja Rejang pada “tempo doeloe” salah satunya adalah Rajo megat.
Tidak lupa juga mengundang Rindu Hati yang berada di Kawasan Taba Penanjung, karena menurut sejarah nenek moyang mereka, bangsa Rejang yang ada di Taba Penanjung pada saat turun tanam tidak pernah berhasil. Sementara bangsa Rejang Lebong saat turun tanam dan panen selalu menghasilkan. Untuk itu, menurut cerita Ujang, ada usulan bahwa bibit disiapkan oleh rindu hati yang berasal dari taba penanjung untuk di tanam di Lebong. Kemudian hasilnya dibagi dua dengan bangsa Rejang yang ada di Taba Penanjung. “Rejang di Rindu Hati tidak bisa panen padi,” kata Ujang.
Ujang pun menjelaskan bahwa bibit padi yang telah diberi syarat tersebut saat akan dibagikan lagi kemasyarakat tidak pernah berkurang. “Selalu berlebih,” katanya. Mungkin inilah pertanda bahwa yang akan ditanam akan berlimpah hasilnya. Di samping itu juga ada beberapa hal yang tidak boleh dilanggar oleh petani dalam hal turun tanam (tidak mesti padi), diantaranya tidak dibenarkan turun tanam pada bulan Afit, Syuro dan Shafar begitu pula halnya dengan hari sabtu, karena konon sejarahnya hari sabtu merupakan hari pembagian hasil padi pada binatang seperti tikus. Para petani harus memulainya sejak dan setiap tanggal satu rabi’ul awal untuk tandur (turun tanam).
Dikatakan demikian, menurut Ujang, pada masa nenek moyang terdahulu telah ada perjanjian bahwa hasil tanam harus dibagi dengan binatang, bila tidak maka hasil panen padi masa mendatang tidak melimpah dan bahkan rusak dimakan hama. Dari itu perjanjian yang telah ada tidak boleh dilanggar. Maka, setiap usai panen ada pembagian untuk tikus yang diberi nama “Batet” (batang padi yang bakal tumbuh tunas baru). Petani tidak boleh memotong yang kedua kalinya karena itu merupakan bagian tikus sesuai perjanjian sebelumnya. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar