Senin, 03 Oktober 2011

Kisah Putri Serindang Bulan 

Sebuah kisah yang mengangkat liku-liku kehidupan putri serindang bulan, kiranya patut menjadi pelajaran bagi kita semua. Karena didalamnya terdapat gambaran kebijaksanaan, kepedulian, rasa asah, asih dan asuh terhadap sesama. Putri Serindang Bulan adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara anak dari Rajo Mawang. Ketujuh anak Rajo Mawang tersebut ialah ki. Geto, Ki. Tago, Ki. Ain, Ki. Jenain, Ki. Nio, Ki. Karang nio (bergelar Sultan Abdullah) dan Putri serindang bulan (atau disebut Sebei Lebong). Bagaimana sebenarnya kisah Putri Serindng Bulan dan dari manakah asal Putri Serindang Bulan tersebut, berikut kisahnya berdasarkan penuturan  Ketua BMA Kabupaten Lebong Hermansyah Syofian, S.Ag

=======**********=======
Ketujuh anak Rajo Mawang tersebut di atas memasuki istana kerajaan Rena Seklawi yang dipimpin oleh kakak mereka yang tertua yaitu KI GETO, sekaligus sebagai Raja memimpin Kerajaan Rena Seklawi rakyatnya aman, damai dan sejahtera.
Seiring dengan waktu seperti layaknya manusia biasa, Putri Serindang Bulan tumbuh dan berkembang sehingga memasuki usia remaja, dengan paras yang cantik dan menawan karena kecantikan dan kepribadiannya yang baik itu Putri Serindang Bulan menarik perhatian para pemuda bahkan raja yang ingin mempersuntingnya.
Pada suatu ketika datanglah Raja Hilir Sungai (HS) yang melamarnya. Setelah lamaran itu diterima Putri Serindang Bulan jatuh sakit yang menjijikan yaitu penyakit Kusta dan Lepra. Karena penyakitnya itu akhirnya pelamar membatalkan lamarannya. Anehnya takkala lamaran dibatalkan kondisi Putri Serindang Bulan kembali seperti semula. Demikian kejadian terjadi berulang-ulang terjadi menimpa nasibnya.
Akibat kejadian ini kakak-kakak Putri Serindang Bulan kecuali Ki Karang Nio, dianggap sebagai aib keluarga yang dapat mencoreng nama keluarga. Akhirnya suatu hari diadakanlah rapat tertutup keluarga yang dipimpin oleh Ki Geto dengan keputusan bahwa daripada memalukan keluarga maka Putri Serindang Bulan harus dibunuh. Karena kebijaksanaan dan keluwesan Ki Karang Nio, dia mengajukan usulan agar niat kakak-kakaknya itu dibatalkan. Atas usulan Ki Karang Nio tersebut membuat marah kakak-kakaknya, dengan perkataan “jika kamu tidak mau ikut keputusan ini maka kamupun harus dibunuh bersama Putri Serindang Bulan. Seandainya kamu setuju, maka untuk melakukannya diserahkan kepada kamu”. Berkatalah Ki Karang Nio “kalau memang keputusan kakak-kakak tidak dapat diubah baiklah sebagai adik saya dengan berat hati terpaksa melakukannya”.
Pada suatu ketika perintah pembunuhan segera dilaksanakan Ki Karang Nio menyiapkan sebuah pedang yang tajam. Kemudian mengajak adiknya Putri Serindang Bulan ke suatu tempat di tepi sungai Ketahun. Yang sebelumnya Ki Karang Nio telah menyiapkan sebuah rakit yang cukup besar yang tidak mudah tenggelam. Sesampai di tepi sungai bertanyalah Putri Serindang Bulan kepada kakaknya Ki karang Nio dengan nada lemah lambat, kagum dan heran dengan pertanyaan :
“Wahai kandaku dimana tempat ini ?” Ki Karang Nio menjawab dengan nada berat dan kesal dengan kata “aku tidak tahu”. Tanya lagi, “air apa ini kanda?” dengan nada yang sama dijawab “Air Ketahun”. Karena jawaban dan perkataan Ki Karang Nio tidak menyejukkan hati Putri Serindang Bulan balik bertanya kepada Ki Karang Nio, “wahai Kakandaku ada apa gerangan yang terjadi aku tahu sifat dan pribadimu yang lemah lembut, tetapi sekarang aneh menjadi kaku dan kasar, agar kiranya kakak sudi menyampaikan kepada Adinda”.
Dengan hati luluh dan linangan air mata Ki Karang Nio terpaksa menceritakan kepada adiknya Putri Serindang Bulan mendengar keterangan Ki Karang Nio tersebut, dengan perasaan yang sedih pula Putri Serindang Bulan menjawab : kalaulah itu keputusan keluarga dan menganggap aku adalah aib dalam keluarga akupun rela, lakukanlah keputusan kesepakatan itu.
Ki Karang Nio dengan sifatnya yang sangat bijaksana itu, lalu menjawab, “tidak, tidak mungkin hal itu aku lakukan wahai adikku, selon coa nam beceei ngen daging ( artinya: kuku tidak mungkin terpisah dengan daging. Engkau adalah satu-satunya adik kami yang perempuan, aku punya cara yang lain lihatlah olehmu itu telah kusiapkan sebuah rakit. Engkau naiklah rakit itu engkau ikutilah kamana rakit itu membawamu, nanti kalau ada nasib dan umur panjang kita pasti akan bertemu”. Digoreskanlah sedikit dibelakang telinga adiknya sebagai tanda darahnya dioleskan pada pedang sebagai jaminan sumpah bahwa darah di pedang itu adalah darah adiknya walau hanya setetes.Dengan linangan air mata sambil mengikuti arus air Putri Serindang Bulan melambaikan tangan sebagai lambang selamat berpisah kepada kakaknya yang tercinta dan yang paling dekat dihatinya. Ki Karang Nio pun demikian melambaikan tangan namun tidak kuasa memandang wajah adikya Putri Serindang Bulan tersebut, akhirnya berpisahlah mereka.
Untuk meyakinkan kelima kakaknya, Ki Karang Nio menebas leher seekor anjing hitam lalu darahnya dimasukkan ke dalam tabung dari ruas bambu dan sebahagian dilumurkan ke pedangnya. Setelah itu pulanglah Ki Karang Nio menemui kelima saudaranya itu untuk melaporkan terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Sesampainya di rumah kakak-kakaknya pun bertanya bagaimana Ki Karang Nio tugasmu? Terlah engkau laksanakan dengan nada curiga terhadap Ki Karang Nio. Ki Karang Nio menjawab titah kakak-kakak telah aku laksanakan. Sahut kakaknya, apa buktinya, dengan gaya yang meyakinkan kakak-kakaknya Ki Karang Nio mencabut pedangnya yang telah dilumuri darah anjing, berkatalah kakak-kakaknya : “Bagus, engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik. Berakhirlah malapetaka dan aib dalam keluarga yang mencoreng muka kita itu”.
Selanjutnya Putri Serindang Bulan yang dihanyutkan dengan rakit tersebut sampailah dengan selamat di sebuah pulau di Muara Sungai Ketahun yang disebut pulau pagai.
Pada suatu hari hulubalang Raja Indrapura sedang berburu, tiba-tiba mereka melihat seberkas cahaya yang indah dan kemilau, sehingga mereka heran dan saling bertanya cahaya apakah itu, mereka semakin penasaran akhirnya mereka memutuskan untuk mendekatinya untuk mengetahui hal itu. Setelah mendekati tempat itu mereka bertanya, Wahai Cahaya apa ini, jika manusia tampakkanlah wujudmu, akhirnya cahaya itu adalah wujud wanita berparas cantik rupawan. Para hulubalang kerajaan kagum dan heran melihat wanita yang cantik rupawan itu. Lalu bergegas pulang menceritakan kejadian tadi kepada Raja. Setelah mendengar cerita itu Raja memerintakan kepada para hulubalangnya kembali menemui wanita tadi dan mengajaknya ke Istana Kerajaan dan wanita cantik tersebut mau mengikuti keinginan Raja yang disampaikan oleh hulubalang itu untuk masuk ke Istana Kerajaan. Sesampainya di Istana, hulubalang melapor kepada Raja bahwa wanita dimaksud telah sampai di Istana. Sang Raja dengan penuh keyakinan dan kebahagiaan turun dari singgasana menemui sang Putri, setelah menyaksikan keanggunan, paras yang cantik rupawan yang ada pada diri Putri Serindang Bulan membuat Raja tertarik dan jatuh hati dan ingin mempersunting Putri Serindang Bulan, sebagai Raja tentu tidak tergesa-gesa, Raja tentu ingin tahu asal usul Putri tersebut, Raja pun mulai melontarkan pertanyaan kepada Putri : Wahai sang Putri aku ingin bertanya kepadamu, sebetulnya siapa namamu, dari mana asalmu, dan kenapa engkau ada disini. Dengan keluguannya Putri menjawab : namaku Putri Serindang Bulan, anak dari Rajo Mawang, dan kami 7 (Tujuh) bersaudara, berasal dari Kutai Belau Saten Kerajaan Rena Sekalawi / Pinang Blapis. Kejadian yang menimpa Putri Serindang Bulan di Muara Sungai Ketahun itu dicertakanlah oleh Putri Serindang Bulan kronologisnya seperti cerita di atas. Setelah mendengarkan cerita tersebut semakin membuat Raja yakin bahwa Putri Serindang Bulan bukan orang sembarangan. Selanjutnya Raja menikahi Putri Serindang Bulan menjadi istrinya yang ke 7 (tujuh).
Sebagaimana adat istiadat yang berlaku di Rena Sekalawi setiap wanita yang menikah dan punya saudara laki-laki, maka pengantin laki-laki membayar leket masing-masing berupa emas satu ruas bambu telang dan uang selengan Baju. Untuk memenuhi adat istiadat tersebut Raja Indrapura mengutus Hulubalang Kerajaan untuk berangkat ke Kerajaan Rena Sekalawi / Pinang Blapis untuk menemui kakak-kakak Putri Serindang Bulan untuk menyampaikan apa yang terjadi terhadap diri Serindang Bulan. Atas berita itu sadara-saudara Putri Serindang Bulan terkejut dan heran serta bahagia karena Putri Serindang Bulan masih hidup. Akhirnya berangkat kakak-kakak Putri Serindang Bulan untuk menemui adiknya Putri Serindang Bulan di Kerajaan Indrapura. Sesampainya disana rombongan disabut dengan meriah sebagaimana adat menyambut tamu agung. Untuk menguji keabsahan keterangan Putri Serindang Bulan itu Raja Indrapura / Setio Barat menampilkan keenam istrinya yang lain bersama Putri Serindang Bulan dan Raja mempersilahkan kepada saudara-saudara Putri Serindang Bulan menunjuk mana Putri Serindang Bulan diantara istri-istrinya itu, hal itu dimulai oleh kakak Putri Serindang Bulan yang tertua yaitu Ki Geto dan seterusnya, sampai kepada Ki Nio, keenamnya itu tidak mampu menunjukkan dan kebingungan mana Putri Serindang Bulan diantara ketujuhnya itu. Akhirnya tiba pada giliran Ki Karang Nio karena keakraban mereka berdua sejak dari kecil dan pada saat perpisahan mereka ketika Ki Karang Nio menghanyutkan dengan rakit, Ki Karang Nio memberikan sedikit tanda dengan menyayat telinga Putri Serindang Bulan disebelah kanan. Saat Ki Karang Nio diminta menunjukkan Karang Nio sedikit menyanbei agar Putri Serindang Bulan memperlihatkan tanda bekas sayatan itu, akhirnya dinampakkanlah tanda tersebut, maka Ki Karang Nio memegang Putri Serindang Bulan sambil Berkata Wahai Raja inilah adik Kami Putri Serindang Bulan sambil menganggukkan kepala Raja Indrapura menjawab, benar inilah Putri Serindang Bulan. Karana kebenaran itu Raja memerintah untuk mengambil leket tersebut untuk dipersembahkan kepada kakak-kakak Putri Serindang Bulan.
Selang beberapa waktu saudara-saudara Putri Serindang Bulan berpamitan untuk pulang ke Rena Sekalawi/ Pinang Blapis. Dalam perjalanan mereka mendapat musibah datangnya angin badai akhirnya perahu mereka karam. Semua emas dan uang leket mereka habis tenggelam kecuali kepunyaan Ki Karang Nio karena kepunyaan mereka habis, mereka merasa iri hati timbullah rencana ingin membunuh Karang Nio untuk merampas milik Karang Nio. Karena kebijaksanaan dan kearifannya sebelum hal itu dilakukan Ki Karang Nio berkata : “Wahai kakak-kakakku emas kalian telah hilang kepunyaan saya masih ada tidak usah khawatir harta saya harta kamu, harta kalian harta saya oleh kerena kepunyaan saya kita bagikan sama rata dan dibagilah oleh Ki Karang Nio seperti diucapkan olehnya. Setelah menerima pembagian itu mereka bersumpah semuanya berjanji setia dan berucap di tempat itu dengan nama Teluk Saok (bercerai) hai adik kami Karang Nio kembalilah ke Kutai Blau Santan Rena Sekelawi memimpin Kutai di sana dan keme alu migai belek artinya kami pergi tidak akan kembali lagi. Mulia saat itulah mereka bercerai Ki Karang Nio Kembali ke Kutai Blau Santan memimpin di Lebong sedangkan mereka/kakak-kakaknya berpencar kemana-mana mendirikan marga-marga di wilayah Rejang di luar Lebong. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar