Senin, 03 Oktober 2011

Butau Gesea Mitos Rakyat Rejang Di Lebong

Danau Tes dan sekitarnya serta masyarakat di Kota Donok, Lebong mempunyai cerita yang cukup banyak. Mulai dari legenda, mitologi, misteri dan peninggalan zaman purbakala, baik berupa megalitik maupun sisa-sisa sejarah masyarakat Rejang tempoe doeloe yang masih terbengkalai. Tapi, sangat diketahui oleh masyarakatnya. Salah satu adalah Butau Gesea (batu hampir atau nyaris, red). Kenapa dinamakan Butau Gesea?
===========**************=============

Karena posisi batu yang permukaannya sekira lebar dan panjang satu meter kali dua meter itu sangat aneh. Batu yang besarnya (secara ukuran umum) mencapai sebesar mobil kijang kapsul lebih sedikit itu, kelihatannya hanya menempel sekian sentimeter saja bagiannya yang tertanam di tanah. Padahal, batu itu berada di lereng bukit yang terletak di Teluk Lem Danau Tes. Letak Butau Gesea berada beberapa meter di atas Srawung Dung Ulau Tujuak (gua ular kepala tujuh) yang terkenal itu. Letak persisnya bila di horizontalkan dari seberang Teluk Lem (Teluk Dalam) berada di seberang Pondok Lucuk (Rumah Runcing) tempat wisata di Kota Donok Kecamatan Lebong Selatan. Walaupun ukuran permukaan Butau Gesea itu tidak lebar dan normalnya hanya bisa muat sekitar maksimal enam orang duduk bersila. Tapi, kenyataannya permukaan batu itu mampu memuat lebih dari 20 orang di atasnya, tanpa berdesak-desakan. Itulah keanehan kalau tidak boleh kita menyebutkan suatu keajaiban. Biasanya, banyak orang berziarah ke Butau Gesea itu, terutama dari kalangan orang rejang yang tinggal di luar Lebong dan masyarakat dari etnis Tionghoa.

Cerita persisnya memang tidak ada. Tapi, semua masyarakat di sekitar Danau Tes, baik di Kota Donok, Talang Ratu, Tapus, Talang Baru, Tanjung, Taba Anyar, Turan Tiging, Mubai, Turan Lalang dan lainnya sangat mengenal cerita Butau Gesea. Masyarakat di Kota Donok mempercayai kalau Butau Gesea itu bukan batu sembarangan dan mempunyai nilai magisnya, apalagi di bawahnya di Teluk Lem di Danau Tes itu terdapat gua ular kepala tujuh yang cerita mitos maupun legendanya sangat tersohor ke berbagai pelosok. Selain itu, ada cerita lain di Teluk Lem itu, yaitu sering munculnya ikan mas besar berukuran sekitar lebar dan panjang tikea purun (tikar, red). Menurut ceritanya, jika ikan itu muncul dan terlihat oleh seseorang atau beberapa orang, dipercayai alamatnya adalah Danau Tes minta korban atau ada orang yang akan meninggal dalam waktu dekat di sekitar danau itu. Bahkan, sering berubah wujud menjadi sebatang kayu besar tanpa ujung ( sangat panjang ), ada pula yang mempercayainya sebagai perubahan wujud dari ular kepala tujuh itu sendiri. Jika Butau gesea itu dikelola oleh pemerintah dan dijadikan salah satu objek wisata, akan mendatangkan pendapatan daerah yang cukup besar, terutama mendatangkan pendapatan bagi masyarakat sekitarnya. Sampai saat ini, belum ada yang berani mengambil foto Butau Gesea itu. Sehingga dokumen fotonya masih kosong. Butau gesea itu nyata keberadaannya, bisa dilihat dengan mata dan bisa diraba. Di lokasi lain, di Tempat Taukem (Keramat Rukam) dulunya diyakini sebagai pusat salah satu kerajaan di Lebong terdapat pula benda purbakala berupa meriam besi dan peluru besinya berbentuk bundar sebesar kelapa. Masyarakat di Lebong sangat percaya kalau anak hasil zina yang datang ke sana dan mencoba mengangkat peluru besi itu. Pasti tidak akan bisa mengangkatnya. Tapi, kalau orang biasa (bukan anak hasil zina,red), besi peluru itu dengan gampang bisa diangkat. Peninggalan itu, saat ini masih ada dan berada di bukit sebelah kiri jalan menuju tes dari Kota Donok yang sekarang sudah ditumbuhi hutan pinus yang lebat. Bioa Tebet di dalam kamus lisan masyarakat Rejang, nama Danau Tes jarang dipergunakan, bahkan masih asing di telinga warga masyarakat khususnya masyarakat di Topos, Talang Baru, Tanjung, Rimbo Pengadang, Air Dingin, Talang Rratu, Kota Donok, Tes, Taba Anyar, Turun Tiging, Mubai dan Turun Lalang.

Masyarakat Rejang di Lebong dan masyarakat Rejang di daerah lain hanya mengenal akrab nama Bioa Tebet. Nama Bioa Tebet (Bioa berarti air, sungai, kali dan tebet berarti dibendung, dam atau aliran sungai yang sengaja ditutup dengan maksud air aliran airnya bisa tergenang, kolam). Oleh karenanya, dalam bahasa Rejang mengenai ‘tebet’ ada tingkatannya. Misalnya tebet titik (bendungan atau kolam kecil), tebet lai (bendungan atau kolam besar). Tentang nama Bioa Tebet untuk Danau Tes dalam bahasa Indonesianya erat kaitannya cerita rakyat Rejang tentang Si Pahit Lidah (sering juga disebut dengan Si Lidah Pahit). Konon cerita, Bioa Tebet (Danau Tes) merupakan danau buatan secara sengaja dilakukan si Pahit Lidah dikarenakan kemarahannya atas tipu daya masyarakat Kota Donok terhadap dirinya. Sebenarnya masyarakat Kota Donok tidak menipu Si Pahit Lidah, melainkan untuk mencegah pekerjaan Si Pahit Lidah mencangkul kawasan di seberang Dusun Tes (dusun berarti desa dalam pemahaman orang Rejang). Kawasan yang dicangkul Si Pahit Lidah itu mulai dari Ujung Semapak pelabuhan perahu masyarakat Kota Donok dan kawasan wisata di Desa Kota Donok sampai Baten Daet seberang Tes, Taba Anyar dan Turun Tiging. Karena kekhawatiran masyarakat Kota Donok akan pekerjaan Si Pahit Lidah yang nantinya akan menenggelamkan desa mereka. Maka sepakatlah para anggota masyarakat dalam komunitas pengurus Kutei (Kutai, Desa) untuk bagaimana mencegah pekerjaan Si Pahit Lidah itu. Kalau dicegah dengan kasar, masyarakat takut akibatnya. Dicarilah solusi, sehingga Si Pahit Lidah mau menghentikan pekerjaannya itu. Solusi itu adalah dengan mengabarkan bahwa anak Si Pahit Lidah meninggal dunia.

Tentu saja kabar itu tidak dipercayai oleh Si Pahit Lidah. Akan tetapi, karena keuletan utusan dari masyarakat Kota Donok menyampaikan pesan kepada Si Pahit Lidah, akhirnya terucaplah kata dari mulutnya, “Anakku mati ya!”. Tentu saja, ucapan itu menjadi kenyataan dan sadar akan ucapannya yang pahit itu, Si Pahit Lidah marah kepada masyarakatnya. Kemarahannya itu ia lampiaskan dengan mengayunkan cangkulnya, lalu tanah yang ia cangkul dilemparkan ke aliran Bioa Tawen (Air Ketahun) di dekat Desa Tes. Tentu saja aliran sungai itu tertutup dan airnya tergenang. Itulah singkat cerita terjadinya Bioa Tebet (Danau Tes) yang merupakan danau terbesar di provinsi Bengkulu. Kawasan- Kawasan di Danau Tes Di Bioa Tebet itu, terdiri dari beberapa kawasan yang sangat dikenal oleh masyarakat Rejang. Kawasan- kawasan itu sebagai berikut: Pertama, Kawasan Teluk Lem Kawasan Teluk Lem oleh masyarakat dipercayai mempunyai cerita misteri yang angker. Karena, di situ ada gua yang konon dijadikan rumah Ular Kepala Tujuh. Letaknya berada di seberang areal wisata Pondok Lucuk. Di Teluk Lem, juga ada batu yang penuh keajaiban yang disebut dengan Butau Gesea (Batu hampir jatuh)

kedua, Jungut Benei Jungut Benei atau Tanjung Pasir merupakan pulau kecil dengan permukaannya hanya pasir. Pulau kecil itu tidak begitu besar dan letaknya berada di muara aliran Air Ketahun dengan Danau Tes (Bioa Tebet). Untuk mencapai Jungut Benei bisa dilakukan dengan naik perahu atau jalan kaki dari Tlang Macang terus ke Tanjung dan sampailah di Jungut Benei. Di Jungut Benei biasanya dimanfaatkan oleh satwa burung, seperti Blibis, dan burung sawah lainnya dan bagi masyarakat yang suka mencari ikan, Jungut Benei sering dijadikan tempat istirahat. Begitu pula bagi anak-anak atau remaja, dimanfaatkan untuk mencari ikan dan menjerat burung atau tempat bermain yang mengasyikkan. Apalagi di musim kemarau. Jungut Benei dikelilingi Bioa Tebet, Tawen Blau, dan Bioa Ketawen. Di daratannya ditumbuhi rumput selet (sejenis rumput yang tajam dan biasanya untuk makanan kerbau), pun dak (pohon dadak), peak (bambu air), bakung (enceng gondok) dan pun sagau (pohon rumbia). Dari Jungut Benei kita bisa memandang lepas ke arah Danau Tes sejauh mata memandang, dapat melihat bagaimana komposisi rumah- rumah penduduk di Desa Kota Donok dan Sukasari. Termasuk alam pegunungan di sekitarnya. Mengasyikkan sekali.

Ketiga, Bioa Tamang merupakan kawasan di muara Bioa Tamang yang berada di paling ujung rumah penduduk Desa Kota Donok (bukan ujung wilayah desa). Di kawasan ini, selain tempat masyarakat mencari ikan, ada jalan raya ke arah Tes yang mendaki. Seperti pendakian Tarahan di Lampung Selatan, Lampung. Daerah pendakian Bioa Tamang dulu terkenal angker, beberapa kejadian mobil yang terjun ke Danau Tes. Sekarang, nampaknya keangkeran daerah itu sudah jarang dibicarakan, karena, masyarakat di desa Kota Donok masih mempercayai bahwa kalau berada di sekitar Danau Tes jangan bicara Takabur. Keempat, Muara Bioa Putiak kawasan ini berada di wilayah Desa Tes yang terdiri dari hutan Peak (bambu air) dan rawa. Di daerah ini, juga sangat subur untuk lahan pertanian padi sawah. Jika melintasi kawasan ini, dapat dilihat areal persawahan penduduk Kotadonok dan Tes. Di muara Bioa Putiak itulah konon cerita adanya Siamang Bioa yang suka menganggu penduduk naik perahu di kawasan muara sungai tersebut.

Kelima, Jungut Mutung kawasan Jungut Mutung itu berada di seberang pulau pasit atau dikenal dengan Jungut Benei. Daerah itu masih menyatu dengan kawasan Teluk Buluak yang dianggap masih angker karena beberapa satwa liar yang berada di kawasan tersebut. Jungut Mutung merupakan pinggir Danau Tes yang sedikit menjorok ke tengah dan tanahnya terlihat merah. Pinggiran Jungut Mutung itu sering dimanfaatkan penduduk untuk mencari ikan, terutama di malam hari. Keenam, Tawen Blau Tawen Blau merupakan anak Danau Tes yang berada di kaki Desa Kotadonok. Air Tawen Blau selalu berwarna kuning, sekelilingnya dipenuhi tumbuhan rawa atau air seperti pohon peak, rumbia dan di Tawen Blau itu tempat bermuaranya beberapa anak sungai atau setidak-tidaknya empat anak Sungai, di antaranya Bioa Pacua Telai, Bioa Ujung Semapak dan lainnya (belum diketahui namanya, hanya orang menyebut bioa tik (air atau sungai kecil). Konon cerita di kawasan Tawen Blau ada seekor binatang yang menunggu, yaitu Buai Kotong (buaya yang ekornya putus). Buaya itu dipercayai bersarang di bawah pepohonan peak yang berada di kawasan kuburan umum desa Kotadonok. Ketujuh, Ujung Semapak Ujung Semapak boleh jadi sebagai kawasan pelabuhan (untuk perahu) masyarakat Kota Donok yang memanfaatkan potensi Danau Tes. Rumah-rumah penduduknya sebagian berada di atas permukaan air Danau Tes yang ada di pinggiran. Berupa rumah- rumah bertiang tinggi. Di Ujung Semapak itu setiap pagi atau sore dapat dilihat puluhan bahkan lebih perahu yang ditambatkan, juga jaring-jaring yang dijemur atau peralatan penagkapan ikan lainnya milik warga dijemur di pinggir air Danau Tes. (**)
Sejarah Rejang Tiang IV di Lebong
Kisah ini merupakan asal muasal terbentuknya jang pat petulai. Sebelum kedatangan tuan biku yang berempat yakni Tuan Biku Sepanjang Jiwo (Tubei), Tuan Biku Bermano (Bermani), Tuan Biku Bembo (Jurukalang) dan Tuan Biku Bejenggo (Selupuh) itu dari Mojopahit di Lebong, tanah ini masih bernama Renah Sekalawi dan telah diduduki oleh bangsa rejang empat petulai. Saat itu rajanya bergelar ajai. Diantara raja-raja tersebut nama dan tempatnya masih dikenali sampai saat ini adalah Ajai Ajai Bitang  di Dusun Pelabai (Pelabi) Lebong (Marga  Suku IX sekarang), Ajai Begeleng Mato di Kutai Belek Tebo Lebong (Marga Suku VIII sekarang), Ajai Siang di Dusun  Siang Lekat Lebong (Marga Jurukalang) dan raja Tiea Keteko di Dusun Bandar Agung Lebong  (Marga Suku IX sekarang). Lalu bagaimana  rejang tiang IV di Lebong terbentuk, berikut petikan hasil wawancara beberapa sumber dan referensi yang diperoleh mengenai rejang tiang IV di Lebong.

============***********============






Sewaktu dalam pemerintahan ajai-ajai tersebut, negeri Lebong telah memiliki adat istiadat  dan huruf sendiri. Saat itu aturan pemerintahan terlalu keras alias ketat, barang siapa yang melanggar adat maka pelakunya dibunuh.
Sekitar abad ke 12 atau 13 atau sekitar 600 dan 700 tahun lalu datanglah ke empat orang ini ke Renah  Sekalawi (Lebong) dari kerajaan Majapahit. Konon, keempat orang ini  merupakan putra-putra raja Majapahit. Keempat orang ini dikawal oleh para pengawal dan tujuan mereka datang ke Renah Sekalawi (Lebong) Pinang Belapis menurut riwayat adalah ingin mencari negeri dan akan dipimpin oleh masing-masing empat putra-putra raja majapahit.
Pada masa itu Kerajaan Majapahit sedang terjadi huru-hara perebutan kekuasaan diantara diantara putra-putra raja. Karena keempat putra raja ini tidak mendapatkan apa yang diinginkan, akhirnya mereka pergi keluar dari kerajaan. Mereka adalah Tuan Biku Sepanjang Jiwo, Tuan Biku Bermano, Tuan Biku Bembo dan Tuan Biku Bejenggo.
Dalam sejarahnya, dari kerajaan Majapahit dan  di dalam perjalanan mereka itu berpencar-pencar. Ada yang menyusur pantai pulau Sumatera sebelah Timur, masuk di Palembang, adapula yang mendarat di Lampung  adan juga ada yang menyisir pulau Perca sebelah Barat.
Yang menyusur Kuala Ketahun lalu memudiki sungai di Renah Sekalawi (Pinang Belapis). Dia  inilah yang di sebut dalam tembo-tembo  “Tuan Biku Sepanjang Jiwo”. Menurut penuturan Tokoh Masyarakat di Desa Sukasari Usman dikatakan menurut orang tua-tua dulu nama biku itu didapati  oleh anak-anak raja di Padang Gersik Bulan di  tanah Majapahit di bawah Beringin Cala Watus, ketika salah seorang dari mereka itu bertanya “Padang apakah ini?” maka menjawalah Pujuh Putih Inggih Gusti Tuanku Biku Bermano, “Inilah Padang Gersik Bulan”.
Sementara itu, Tuan Biku Sepanjang Jiwo, karena arif dan bijaksana dan sangat pengasih penyayang serta sakti, maka diangkatlah dirinya sebagai raja oleh bangsa Rejang untuk menjadi raja menggantikan Ajai Bintang yang berkedudukan di Pelabai (Pelabi). Kemudian datang pula Tuan Biku Bembo dan menjadi raja di Ulu Sungai Ketahun menggantikan Ajai Siang yang berkedudukan di Sukanegeri dekat Tapus dan Biku Bermano  yang juga datang dan kemudian menjadi ketua atau raja  Bangmego Pitulai Bermani di Kota Rukam dekat Dusun Tes. Kemudian datang pula Tuan Biku  Bejenggo yang memudiki biduk menyusuri  Sungai Musi sampai  ke Ulu Sungai Musi, akhirnya di sanalah dia diangkat menjadi raja  Bangsa Rejang di Batu Lebar dekat Dusun Agung Rejang.
Ketika Tuan Biku Sepanjang Jiwo berpisah dengan saudara-saudaranya di Majapahit, dirinya sempat memberikan amanat,  bila ingin mencari dirinya, hendaklah terlebih dahulu ditimbang Air Tujuh Kuala Sungai. Manakala  kedapatan suatu sungai yang lebih berat  dari yang lain, hendaklah sungai itu dimudiki niscaya akan bertemu dengan dirinya.
Saat itu Tuan Biku Bermano bermaksud untuk mencari saudaranya  Biku Sepanjang Jiwo. Setelah menimbang air kuala tujuh buah, maka didapatlah olehnya air kuala sungai Ketahun lebih berat dari air kuala sungai yang lainnya. Akhirnya Tuan Biku Bermano pun menyusuri Sungai Ketahun dengan menaiki sebuah biduk, akhirnya bertemulah Tuan Biku Bermano dengan saudaranya Biku Sepanjang Jiwo.
Saat bertemu dengan saudaranya,  Tuan Biku Bermano mengatakan “Disini kiranya saudara-saudara telebong (Telebong artinya terkumpul). Akhirnya Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong. Sedangkan negeri tempat pertemuan itu di sebut Pelabai yang artinya tempat.
Setelah keempat tuan-tuan biku menetap dan menjadi raja bangsa rejang, maka petulai-petulai  yang diperintahnya  itu pun di sebut dengan sebutan Bang Mego atau Marga. Bang Mego atau Marga Tuan Biku Sepanjang Jiwo  bernama Bang Mego  atau marga Tebuij atau Tubai yang berkedudukan di Dusun Pelabai (Pelabi), kemudian di Dusun  Kutai Belau Saten (Kota Baru santan) adalah untuk marga Suku IX.
Bang Mego atau Marga  Tuan Biku Bembo bernama Jurukalang  dan berkedudukan di Dusun Sukanegeri (Marga Bermani Jurukalang). Bang Mego Biku Bejenggo bernama Selupu Ea atau Selupu dan berkedudukan di Batu  Lebar (Marga Selupu Rejang).
Berdasarkan naskah tembo Rejang Empat Petulai, asal-usul tentang memberi nama  Bang Mego atau Marga ini diceritakan  seperti berikut:
Pada suatu masa datanglah musim kedukaan  dalam kerajaan Rejang Empat Petulai yakni Tuan Biku Sepanjang Jiwo, Tuan Biku Bermano, Tuan Biku Bembo dan Tuan Biku Bejenggo, rakyat banyak yang sakit dan mati, padi ternak pun tiada yang jadi. Setelah melakukan berbagai upaya untuk menolak balak (bahaya dan musibah) yang juga tiada hasil, maka keempat raja ini mufakat  untuk memanggil dan menyuruh ahli nujum melihat dalam ramalannya terhadap kejadian yang dialami oleh keempat kerajaan tersebut. Menurut perkataan ahli nujum, yang menyebabkan kedatangan marabahaya negeri semacam itu  adalah seekor siamang (Beruk) putih yang tinggal di atas pohon Benuang Sakti. Apabila siamang putih ini mengeluarkan suara ke arah yang ditujunya, maka negeri-negeri sebagian yang dihadapinya itu  mendapat marabahaya seperti yang telah diderita  oleh mereka pada masa itu.
Atas kesepakatan keempat raja tersebut, dicarilah batang Benuang Sakti tempat kediaman Siamang Putih untuk ditebang. Ke empat raja ini akhirnya berpencar mencari batang Benuang Sakti yang dimaksud. Akhirnya batang Benuang Sakti yang dimaksud itu ditemukan  oleh Tuan Biku Bermano. Ditebangnya batang Benuang Sakti, anehnya saat batang itu ditebang  oleh Tuan  Biku Bermano tidak juga kunjung roboh, bahkan lebih anehnya lagi segempal potongan  kayu runtuh akibat ditebang dua gempal pula kayu itu kian membesar batangnya.
Masih menebang pohon sakti itu, datanglah anak buah petulai Tuan Biku Sepanjang Jiwo dan berkata, “Bie Pues beubuie-ubuie mesoa, uyo mako betemeu” (artinya: telah puas kami berduyun-duyun bersama kemari mencari, sekarang bertemu). Akhirnya secara bersama-sama mereka merobohkan pohon Benuang Sakti. Namun setelah bertambah jumlah personil untuk merobohkan kayu tidak juga bisa dirobohkan bahkan kayu itu tamah berdiri kokoh.
 Tidak lama kemudian anak buah petulai Tuan Biku Bejenggo pun datang dan membantu rombongan yang sudah lebih dulu menebang pohon Benuang Sakti. Kedatangan rombongan yang baru pun ternyata tidak membuahkan hasil. Setiap kali kena tebasan pohon itu justeru semakin membesar. Akhirnya, melihat keanehan itu, anak buah Petulai Tuan Biku Bermano  berkata “Keme yo kerjo cigai ade  manai ne igai, anak buah Tuan Biku  Sepanjang Jiwo berubuie-ubuie kulo, anak buea Tuan Biku  Bejenggo  bie gupeak kulo kerjo  tetapi ati keno kijeu yo lok ubeak berang kalaie Tuan Biku Bembo alang neigai mako  silok ubeak kejeu yo” (artinya:  kami bekerja hingga tak berdaya lagi, anak buah Tuan Biku Sepanjang Jiwo telah bersama-sama pula bekerja dan anak buah Tuan Biku Bejenggo telah bertumpuk-tumpuk pula, bekerja tetapi pohon ini tidak juga roboh. Barangkali saja anak buah Tuan Biku Bembo yang menjadi halangannya).
Saat mengatakan demikian, datanglah anak buah tuan Biku Bembo  dan Tuan Biku Bermano mengulang kembali pembicaraan dan menceritakan keanehan batang Benuang Sakti yang saat ditebang tidak mau roboh dan justeru batangnya bertambah besar.
Akhirnya keempat raja ini kembali  melakukan mufakat untuk bertarak (bertapa) supaya pohon itu bisa ditebang dan roboh. Adapun hasil dari pertapaan itu isinya adalah: “Kalau hendak menyuruh roboh pohon Benuang Sakti itu, hendaklah menguburkan  anak gadis  dibawah pohon itu”
Kononnya pula, Siamang Putih itu bersuara dari atas pohon Benuang Sakti, dikatakannya “Benuang Sakti ini akan rebah kalau di bawahnya  akan dikalang oleh tujuh gadis muda remaja”. Akhirnya keempat raja ini kembali bermufakat akan mengadakan anak gadis yang diinginkan oleh Siamang Putih. Mengingat anak buah petulai Biku Bembo datangnya kemudian dan belum membantu bekerja menebang pohon, maka diperintahkan untuk mencari gadis yang dikehendaki itu. Sungguh pun demikian, anak buah Tuan Biku  tersebut mencari  juga akal agar anak gadis yang akan dikuburkan  itu tidak mati. Setelah ke tujuh gadis remaja didapati dan segeralah dilakukan penggalian  lobang sedalam sembilan hasta dan lebar sembilan hasta pula. Pekerjaan untuk itupun akhirnya dilakukan dan masing-masing anak buah diberikan tugas yang berbeda-beda, ada yang menggali lubang, membuat penghadang atau kalang, ada pul yang mencari penutup. Sementara anak buah Biku Bermano  memberi makanan beram manis kepada pekerja.
Tidak lama kemudian, setelah pekerjaan usai dan dikuburkan hidup-hidup  ketujuh gadis remaja itu, barulah  pohon benuang sakti ditebang  dan akhirnya roboh di atas tempat ke tujuh anak gadis itu di kuburkan. Ke tujuh anak gadis itu pun selamat dan siamang putih pun raib.
Akhirnya setelah kayu sakti itu roboh dan siamang putih pun raib, keempat kelompok itu mendapatkan julukan masing-masing menurut kelakuan dan pekerjaan  waktu menebang pohon Benuang sakti yaitu Tubaij (Tubai) asal katanya dari berubuie-ubuie atau berduyun-duyun. Bermanai (Bermani) asal katanya  dari Manai (Tiada daya lagi), kemudian Selupuea (Selupu) berasal dari kata berupuea-upuea (Bertumpuk-tumpuk) Jurukalang yang mengadakan galang  atau yang menjadi alangan.
Semasa tuan-tuan biku tersebut menjadi raja bangsa Rejang , maka rakyatnya akhirnya diajarkan untuk bercocok tanam oleh masing-masing raja. Saat itu mereka bercocok tanam padi  di sawah dan ladang (sebelumnya bangsa rejang saat itu belum mengenal padi dan masih makan jagung dan talas).
Tentang adat istiadat Rejang tiada dirubah, melainkan yang tidak  baik dibuangnya dan yang kurang baik ditambah seperti gawal tiada lagi dibunuh melainkan membangun, artinya kesalahan  itu boleh dibayar dengan emas atau uang dan bukan dibayar dengan jiwa.
Yang menjadi pokok adat bangsa rejang yang masih  dipakai hingga kini adalah:
1. Membunuh, membangun, artinya sipembunuh dihukum dengan membayar bangun  kepada keluar atau famili yang dibunuhnya berupa emas atau perak,
2. Salah berhutang, maksudnya tiap-tiap  kesalahan ditanggung oleh yang berbuat salah,
3. Gawal mati, artinya tiap-tiap seseorang melakukan kejahatan yang maha besar atau yang dilarang keras oleh adat maka seseorang tersebut dihukum mati,
4. Melukai menepung, maksudnya memberikan emas atau perak kepada orang yang dilukai,
5. Selang, berpulang, maksudnya tiap barang yang dipinjam harus dikembalikan,
6. Suarang berbagi, maksudnya harta yang diperoleh  bersama-sama harus dibagi sama banyak,
7. Buruk Puar Aling Jilupung, patah tumbuh hilang berganti, artinya tiap-tiap yang hilang mesti dicari gantinya, mati suami saudara suami akan menjadi gantinya, mati siteri saudara isterinya pula yang menjadi gantinya (mengganti tikar)
8. Kalah adat karena janji
9. Sumbing bertitip patah berkipal seperti buruk puar aling jilupung, patah tumbuh hilang berganti.
10. Diberi  habis saja, suka sama suka
11. digelung jangan diurak, direba jangan dipanjek.
Tuan biku Sepanjang Jiwo tidak lama menjadi raja di Marga Tubai dan segera kembali ke majapahit tanpa meninggalkan keturunan di Lebong. Sebagai penggantinya adalah Sultan Rajo Megat atau Tuan rajo Jonggor anak raja dari Pagar Ruyung. (Menurut cerita dalam naskah tembo,  Mibang Dusun Muara  Ketaju Marga  suku IX, bahwa Tuan Biku Sepanjang Jiwo  adalah anak raja dari Pagar ruyung  dan menantu dari Ratu Majapahit. Dia inilah yang sering disebut banyak orang sebagai sebagai datuk Imbang Jayo. Dia juga akhirnya dipanggil untuk kembali ke Pagar Ruyung untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi. Dan sebagai penggantinya Datuk Imbang jayo menyuruh mamak (paman)-nya Tuan Sultan rajo Megat yang di tuduh  bersalah membuat sumbang  di Pagar Ruyung. Dia menikahi Putri Gilang adik Rajo Bilang di Dusun Pelabai.
Beberapa lama kemudian, dari empat marga tersebut dan bangsa rejang  telah bertambah (berkembang) serta banyak pula pecahan keturunannya, maka dibuatlah peraturan baru agar negeri yang didiami menjadi aman sentosa, penjagaan musuh harus diatur sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu pada suatu masa dibuat pemufakatan  besar oleh bangsa Rejang Tubai, Bermani, Jurukalang dan Selupu serta mengadakan bimbang besar untuk menetapkan aturan pemerintahan negeri dan adat sitiadat dalam negeri  serta akan mengangkat seorang dari pasirah yang empat untuk menjadi raja pasirah  yaitu yang  tertua lagi bijaksana. Saat itulah akhirnya marga Tubai dipecah menjadi dua yaitu suku VIII dan Suku IX. Begitu juga dalam pemufakatan turunan marga Tubai  yakni marga Tubai, Jurukalang, Bermani dan Selupu diundang untuk menghadirinya. Merka yang datang adalah empat depati  Sindang Empat lawang, lima depati Sindang Beliti, tiga pasirah Ulu Musi (Selupu Rejang, Bermani Ulu dan Merigi), 11 proatin Renah Pasisir, tujuh proatin Renah Ketahun.
Sejak saat itulah berdiri di Lebong lima marga dengan lima pasirah yang seorang dari pasirah itu diangkat menjadi ketuanya dan disebut pasirah – Tiang IV lima dengan rajanya dan adat rejang yang dinamai adat Rejang Tiang IV. Berikut nama pasirah  di Lebong  waktu diadakan pemufakatan besar, Marga Tubai (Suku IX) pasirahnya  Tuan rajo di Bandar Agung. Marga Tubai (Suku VIII) Pasirahnya Tuan Setio Muaro Depati saudara tua dari Tuan rajo di Dusun Karang Anyar. Marga bermani pasirahnya  Tuan Tachta Tunggal tinggal di Kota Rukam. Marga jurukalang pasirahnya Tuan Ria Setanggai Panjang di Tapus, dan Marga Selupu Lebong pasirahnya Adjai malang di Dusun Atas Tebing. (Tamat)
Ritual Adat “Ngundang Binieak”

Pelaksanaan turun tanam segera dilakukan oleh petani. Namun sebelum pelaksanaan turun tanam, agar hasil padi yang ditanam tidak dimakan hama dan penyakit, warga masyarakat sebelumnya melaksanakan ritual adat yang diberi nama “Ngundang Binieak atau mengundang bibit. Artinya, semua masyarakat saat akan memulai turun tanam serempak masyarakat mengumpulkan padi seadanya untuk dijadikan satu dan diberikan syarat agar padi yang akan di tanam tidak diserang hama penyakit. Lalu bagaimana acara ritual “Ngundang Binieak” itu?

============*********===========
Masyarakat di Kabupaten Lebong biasanya sebelum melaksanakan turun tanam serentak, mereka melakukan ritual adat yang diberi nama “Ngundang Binieak” atau ngundang bibit. “Ngundang Binieak” ini merupakan hari waktu pencanangan memulai untuk turun tanam dengan secepatnya. Paling lama sepuluh hari.
Bibit padi yang akan diberikan syarat tersebut merupakan hasil kumpulan warga yang berasal dari segala penjuru di Kabupaten Lebong. Padi tersebut dikumpulkan untuk kemudian dicampur dengan berbagai jenis tumbuhan lainnya. Dengan tujuan agar hasil padi yang mereka tanam dapat melimpah dan tidak diserang hama tikus ataupun lainnya. Setelah padi tersebut dikumpulkan dan usai di berikan syarat padi tersebut dikembalikan kepada warga. Namun anehnya pada saat padi tersebut dikembalikan justeru padi tersebut berlebih. Mungkin inilah yang dinamakan dengan rezeki. Bila panen tiba hasil padi yang mereka peroleh akan melimpah.
Pantauan RPP saat ritual adat tersebut, padi yang sudah dikumpulkan diampur dengan berbagai jenis tumbuhan diantaranya jeruk nipis satu buah, cekrau sebanyak 2 kilogram, kupei dua kilogram, daun linggo dua genggam, rebung bambu gading satu kilogram, buah pinang dua puluh buah. Kemudian gundur, upei, jerangau, stokot. Masing-masing satu buah. Berbagai jenis campuran tersebut dipotong lembut dan dijadikan satu (diaduk) dengan padi, kemudian padi ditutup dengan selembar kain putih. Sementara buah kelapa muda dan daun sedingin setawar dipisahkan dari padi.
Masing-masing jenis tumbuhan yang dicampurkan dengan padi tersebut, menurut pawang Ujang Sarifudin, memiliki arti tersendiri. Dikatakannya, cekrau dan kupei yang masing-masing dibutuhkan sebanyak dua kilogram mengandung makna agar padi yang ditanam cepat berkembang. Kemudian, daun linggo, rebung bambu gading, buah pinang, gundur memiliki arti bahwa saat padi ditanam tidak diserang hama seperti tikus, babi dan lain sebagainya serta terhindar dari penyakit yang menyebabkan padi tersebut layu atau bahkan mati. “Ritual semacam ini dilakukan setiap tahun turun temurun sejak dari nenek moyang kami dan itu harus dilakukan karena itu merupakan rangkaian yang harus kami lakukan sebelum turun tanam,” kata Ujang Syarifudin.
Pengamatan RPP, usai mencampurkan dan menyiapkan segala sesuatunya, maka ritual “Ngundang Binieak” pun dilakukan. Pada saat ritual dilaksanakan, sambil membakar kemenyan pawang membacakan mantra-mantra agar padi yang akan ditanam tumbuh dengan baik dan terhindar dari serangan dan hama yang biasa mengganggu padi. usai membacakan mantra-mantra  dan sedinginsetawar dimasukkan dalam buah kelapa muda untuk dicelupkan ke dalam air untuk kemudian dipercikkan pada padi yang sudah diberikan syarat tersebut.
Dalam mantranya, pawang sempat menangis dan mengeluarkan  air mata, sangat berharap sekali pada turun tanam kali ini padi petani tidak diserang hama tikus dan babi serta terhindar dari hama penyakit padi lainnya. Dengan demikian pertumbuhan padi akan cepat berkembang dan menghasilkan jumlah padi yang banyak. Artinya pada panen mendatang hasil padi mereka melimpah.
Usai membacakan mantra sekitar 15 menit ini, padi yang sudah diberikan syarat dan sudah dimantra tersebut diaduk kembali secara bergiliran. Kemudian dimasukkan dalam kantong plastik  masingt-masing sebanyak dua sendok.
Ujang Syarifudin yang merupakan mantan kades Dusun Muara Aman ini mengatakan, saat membacakan mantra-mantra, dirinya meminta izin kepada leluhur mereka untuk turun tanam dan meminta agar semua hama yang ada dikembalikan ke hutan. Leluhur yang dimaksud adalah raja-raja Rejang pada “tempo doeloe” salah satunya adalah Rajo megat.
Tidak lupa juga mengundang Rindu Hati yang berada di Kawasan Taba Penanjung, karena menurut sejarah nenek moyang mereka, bangsa Rejang yang ada di Taba Penanjung pada saat turun tanam tidak pernah berhasil. Sementara bangsa Rejang Lebong saat turun tanam dan panen selalu menghasilkan. Untuk itu, menurut cerita Ujang, ada usulan bahwa bibit disiapkan oleh rindu hati yang berasal dari taba penanjung untuk di tanam di Lebong. Kemudian hasilnya dibagi dua dengan bangsa Rejang yang ada di Taba Penanjung. “Rejang di Rindu Hati tidak bisa panen padi,” kata Ujang.
Ujang pun menjelaskan bahwa bibit padi yang telah diberi syarat tersebut saat akan dibagikan lagi kemasyarakat tidak pernah berkurang. “Selalu berlebih,” katanya. Mungkin inilah pertanda bahwa yang akan ditanam akan berlimpah hasilnya. Di samping itu juga ada beberapa hal yang tidak boleh dilanggar oleh petani dalam hal turun tanam (tidak mesti padi), diantaranya tidak dibenarkan turun tanam pada bulan Afit, Syuro dan Shafar begitu pula halnya dengan hari sabtu, karena konon sejarahnya hari sabtu merupakan hari pembagian hasil padi pada binatang seperti tikus. Para petani harus memulainya sejak dan setiap tanggal satu rabi’ul awal untuk tandur (turun tanam).
Dikatakan demikian, menurut Ujang, pada masa nenek moyang terdahulu telah ada perjanjian bahwa hasil tanam harus dibagi dengan binatang, bila tidak maka hasil panen padi masa mendatang tidak melimpah dan bahkan rusak dimakan hama. Dari itu perjanjian yang telah ada tidak boleh dilanggar. Maka, setiap usai panen ada pembagian untuk tikus yang diberi nama “Batet” (batang padi yang bakal tumbuh tunas baru). Petani tidak boleh memotong yang kedua kalinya karena itu merupakan bagian tikus sesuai perjanjian sebelumnya. (**)
Kisah Putri Serindang Bulan 

Sebuah kisah yang mengangkat liku-liku kehidupan putri serindang bulan, kiranya patut menjadi pelajaran bagi kita semua. Karena didalamnya terdapat gambaran kebijaksanaan, kepedulian, rasa asah, asih dan asuh terhadap sesama. Putri Serindang Bulan adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara anak dari Rajo Mawang. Ketujuh anak Rajo Mawang tersebut ialah ki. Geto, Ki. Tago, Ki. Ain, Ki. Jenain, Ki. Nio, Ki. Karang nio (bergelar Sultan Abdullah) dan Putri serindang bulan (atau disebut Sebei Lebong). Bagaimana sebenarnya kisah Putri Serindng Bulan dan dari manakah asal Putri Serindang Bulan tersebut, berikut kisahnya berdasarkan penuturan  Ketua BMA Kabupaten Lebong Hermansyah Syofian, S.Ag

=======**********=======
Ketujuh anak Rajo Mawang tersebut di atas memasuki istana kerajaan Rena Seklawi yang dipimpin oleh kakak mereka yang tertua yaitu KI GETO, sekaligus sebagai Raja memimpin Kerajaan Rena Seklawi rakyatnya aman, damai dan sejahtera.
Seiring dengan waktu seperti layaknya manusia biasa, Putri Serindang Bulan tumbuh dan berkembang sehingga memasuki usia remaja, dengan paras yang cantik dan menawan karena kecantikan dan kepribadiannya yang baik itu Putri Serindang Bulan menarik perhatian para pemuda bahkan raja yang ingin mempersuntingnya.
Pada suatu ketika datanglah Raja Hilir Sungai (HS) yang melamarnya. Setelah lamaran itu diterima Putri Serindang Bulan jatuh sakit yang menjijikan yaitu penyakit Kusta dan Lepra. Karena penyakitnya itu akhirnya pelamar membatalkan lamarannya. Anehnya takkala lamaran dibatalkan kondisi Putri Serindang Bulan kembali seperti semula. Demikian kejadian terjadi berulang-ulang terjadi menimpa nasibnya.
Akibat kejadian ini kakak-kakak Putri Serindang Bulan kecuali Ki Karang Nio, dianggap sebagai aib keluarga yang dapat mencoreng nama keluarga. Akhirnya suatu hari diadakanlah rapat tertutup keluarga yang dipimpin oleh Ki Geto dengan keputusan bahwa daripada memalukan keluarga maka Putri Serindang Bulan harus dibunuh. Karena kebijaksanaan dan keluwesan Ki Karang Nio, dia mengajukan usulan agar niat kakak-kakaknya itu dibatalkan. Atas usulan Ki Karang Nio tersebut membuat marah kakak-kakaknya, dengan perkataan “jika kamu tidak mau ikut keputusan ini maka kamupun harus dibunuh bersama Putri Serindang Bulan. Seandainya kamu setuju, maka untuk melakukannya diserahkan kepada kamu”. Berkatalah Ki Karang Nio “kalau memang keputusan kakak-kakak tidak dapat diubah baiklah sebagai adik saya dengan berat hati terpaksa melakukannya”.
Pada suatu ketika perintah pembunuhan segera dilaksanakan Ki Karang Nio menyiapkan sebuah pedang yang tajam. Kemudian mengajak adiknya Putri Serindang Bulan ke suatu tempat di tepi sungai Ketahun. Yang sebelumnya Ki Karang Nio telah menyiapkan sebuah rakit yang cukup besar yang tidak mudah tenggelam. Sesampai di tepi sungai bertanyalah Putri Serindang Bulan kepada kakaknya Ki karang Nio dengan nada lemah lambat, kagum dan heran dengan pertanyaan :
“Wahai kandaku dimana tempat ini ?” Ki Karang Nio menjawab dengan nada berat dan kesal dengan kata “aku tidak tahu”. Tanya lagi, “air apa ini kanda?” dengan nada yang sama dijawab “Air Ketahun”. Karena jawaban dan perkataan Ki Karang Nio tidak menyejukkan hati Putri Serindang Bulan balik bertanya kepada Ki Karang Nio, “wahai Kakandaku ada apa gerangan yang terjadi aku tahu sifat dan pribadimu yang lemah lembut, tetapi sekarang aneh menjadi kaku dan kasar, agar kiranya kakak sudi menyampaikan kepada Adinda”.
Dengan hati luluh dan linangan air mata Ki Karang Nio terpaksa menceritakan kepada adiknya Putri Serindang Bulan mendengar keterangan Ki Karang Nio tersebut, dengan perasaan yang sedih pula Putri Serindang Bulan menjawab : kalaulah itu keputusan keluarga dan menganggap aku adalah aib dalam keluarga akupun rela, lakukanlah keputusan kesepakatan itu.
Ki Karang Nio dengan sifatnya yang sangat bijaksana itu, lalu menjawab, “tidak, tidak mungkin hal itu aku lakukan wahai adikku, selon coa nam beceei ngen daging ( artinya: kuku tidak mungkin terpisah dengan daging. Engkau adalah satu-satunya adik kami yang perempuan, aku punya cara yang lain lihatlah olehmu itu telah kusiapkan sebuah rakit. Engkau naiklah rakit itu engkau ikutilah kamana rakit itu membawamu, nanti kalau ada nasib dan umur panjang kita pasti akan bertemu”. Digoreskanlah sedikit dibelakang telinga adiknya sebagai tanda darahnya dioleskan pada pedang sebagai jaminan sumpah bahwa darah di pedang itu adalah darah adiknya walau hanya setetes.Dengan linangan air mata sambil mengikuti arus air Putri Serindang Bulan melambaikan tangan sebagai lambang selamat berpisah kepada kakaknya yang tercinta dan yang paling dekat dihatinya. Ki Karang Nio pun demikian melambaikan tangan namun tidak kuasa memandang wajah adikya Putri Serindang Bulan tersebut, akhirnya berpisahlah mereka.
Untuk meyakinkan kelima kakaknya, Ki Karang Nio menebas leher seekor anjing hitam lalu darahnya dimasukkan ke dalam tabung dari ruas bambu dan sebahagian dilumurkan ke pedangnya. Setelah itu pulanglah Ki Karang Nio menemui kelima saudaranya itu untuk melaporkan terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Sesampainya di rumah kakak-kakaknya pun bertanya bagaimana Ki Karang Nio tugasmu? Terlah engkau laksanakan dengan nada curiga terhadap Ki Karang Nio. Ki Karang Nio menjawab titah kakak-kakak telah aku laksanakan. Sahut kakaknya, apa buktinya, dengan gaya yang meyakinkan kakak-kakaknya Ki Karang Nio mencabut pedangnya yang telah dilumuri darah anjing, berkatalah kakak-kakaknya : “Bagus, engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik. Berakhirlah malapetaka dan aib dalam keluarga yang mencoreng muka kita itu”.
Selanjutnya Putri Serindang Bulan yang dihanyutkan dengan rakit tersebut sampailah dengan selamat di sebuah pulau di Muara Sungai Ketahun yang disebut pulau pagai.
Pada suatu hari hulubalang Raja Indrapura sedang berburu, tiba-tiba mereka melihat seberkas cahaya yang indah dan kemilau, sehingga mereka heran dan saling bertanya cahaya apakah itu, mereka semakin penasaran akhirnya mereka memutuskan untuk mendekatinya untuk mengetahui hal itu. Setelah mendekati tempat itu mereka bertanya, Wahai Cahaya apa ini, jika manusia tampakkanlah wujudmu, akhirnya cahaya itu adalah wujud wanita berparas cantik rupawan. Para hulubalang kerajaan kagum dan heran melihat wanita yang cantik rupawan itu. Lalu bergegas pulang menceritakan kejadian tadi kepada Raja. Setelah mendengar cerita itu Raja memerintakan kepada para hulubalangnya kembali menemui wanita tadi dan mengajaknya ke Istana Kerajaan dan wanita cantik tersebut mau mengikuti keinginan Raja yang disampaikan oleh hulubalang itu untuk masuk ke Istana Kerajaan. Sesampainya di Istana, hulubalang melapor kepada Raja bahwa wanita dimaksud telah sampai di Istana. Sang Raja dengan penuh keyakinan dan kebahagiaan turun dari singgasana menemui sang Putri, setelah menyaksikan keanggunan, paras yang cantik rupawan yang ada pada diri Putri Serindang Bulan membuat Raja tertarik dan jatuh hati dan ingin mempersunting Putri Serindang Bulan, sebagai Raja tentu tidak tergesa-gesa, Raja tentu ingin tahu asal usul Putri tersebut, Raja pun mulai melontarkan pertanyaan kepada Putri : Wahai sang Putri aku ingin bertanya kepadamu, sebetulnya siapa namamu, dari mana asalmu, dan kenapa engkau ada disini. Dengan keluguannya Putri menjawab : namaku Putri Serindang Bulan, anak dari Rajo Mawang, dan kami 7 (Tujuh) bersaudara, berasal dari Kutai Belau Saten Kerajaan Rena Sekalawi / Pinang Blapis. Kejadian yang menimpa Putri Serindang Bulan di Muara Sungai Ketahun itu dicertakanlah oleh Putri Serindang Bulan kronologisnya seperti cerita di atas. Setelah mendengarkan cerita tersebut semakin membuat Raja yakin bahwa Putri Serindang Bulan bukan orang sembarangan. Selanjutnya Raja menikahi Putri Serindang Bulan menjadi istrinya yang ke 7 (tujuh).
Sebagaimana adat istiadat yang berlaku di Rena Sekalawi setiap wanita yang menikah dan punya saudara laki-laki, maka pengantin laki-laki membayar leket masing-masing berupa emas satu ruas bambu telang dan uang selengan Baju. Untuk memenuhi adat istiadat tersebut Raja Indrapura mengutus Hulubalang Kerajaan untuk berangkat ke Kerajaan Rena Sekalawi / Pinang Blapis untuk menemui kakak-kakak Putri Serindang Bulan untuk menyampaikan apa yang terjadi terhadap diri Serindang Bulan. Atas berita itu sadara-saudara Putri Serindang Bulan terkejut dan heran serta bahagia karena Putri Serindang Bulan masih hidup. Akhirnya berangkat kakak-kakak Putri Serindang Bulan untuk menemui adiknya Putri Serindang Bulan di Kerajaan Indrapura. Sesampainya disana rombongan disabut dengan meriah sebagaimana adat menyambut tamu agung. Untuk menguji keabsahan keterangan Putri Serindang Bulan itu Raja Indrapura / Setio Barat menampilkan keenam istrinya yang lain bersama Putri Serindang Bulan dan Raja mempersilahkan kepada saudara-saudara Putri Serindang Bulan menunjuk mana Putri Serindang Bulan diantara istri-istrinya itu, hal itu dimulai oleh kakak Putri Serindang Bulan yang tertua yaitu Ki Geto dan seterusnya, sampai kepada Ki Nio, keenamnya itu tidak mampu menunjukkan dan kebingungan mana Putri Serindang Bulan diantara ketujuhnya itu. Akhirnya tiba pada giliran Ki Karang Nio karena keakraban mereka berdua sejak dari kecil dan pada saat perpisahan mereka ketika Ki Karang Nio menghanyutkan dengan rakit, Ki Karang Nio memberikan sedikit tanda dengan menyayat telinga Putri Serindang Bulan disebelah kanan. Saat Ki Karang Nio diminta menunjukkan Karang Nio sedikit menyanbei agar Putri Serindang Bulan memperlihatkan tanda bekas sayatan itu, akhirnya dinampakkanlah tanda tersebut, maka Ki Karang Nio memegang Putri Serindang Bulan sambil Berkata Wahai Raja inilah adik Kami Putri Serindang Bulan sambil menganggukkan kepala Raja Indrapura menjawab, benar inilah Putri Serindang Bulan. Karana kebenaran itu Raja memerintah untuk mengambil leket tersebut untuk dipersembahkan kepada kakak-kakak Putri Serindang Bulan.
Selang beberapa waktu saudara-saudara Putri Serindang Bulan berpamitan untuk pulang ke Rena Sekalawi/ Pinang Blapis. Dalam perjalanan mereka mendapat musibah datangnya angin badai akhirnya perahu mereka karam. Semua emas dan uang leket mereka habis tenggelam kecuali kepunyaan Ki Karang Nio karena kepunyaan mereka habis, mereka merasa iri hati timbullah rencana ingin membunuh Karang Nio untuk merampas milik Karang Nio. Karena kebijaksanaan dan kearifannya sebelum hal itu dilakukan Ki Karang Nio berkata : “Wahai kakak-kakakku emas kalian telah hilang kepunyaan saya masih ada tidak usah khawatir harta saya harta kamu, harta kalian harta saya oleh kerena kepunyaan saya kita bagikan sama rata dan dibagilah oleh Ki Karang Nio seperti diucapkan olehnya. Setelah menerima pembagian itu mereka bersumpah semuanya berjanji setia dan berucap di tempat itu dengan nama Teluk Saok (bercerai) hai adik kami Karang Nio kembalilah ke Kutai Blau Santan Rena Sekelawi memimpin Kutai di sana dan keme alu migai belek artinya kami pergi tidak akan kembali lagi. Mulia saat itulah mereka bercerai Ki Karang Nio Kembali ke Kutai Blau Santan memimpin di Lebong sedangkan mereka/kakak-kakaknya berpencar kemana-mana mendirikan marga-marga di wilayah Rejang di luar Lebong. (**)